Breaking News

HUKUM PUASA RAJAB DALAM ISLAM

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Seiring dengan perdebatan yang kita temui mengenai Puasa Rajab, maka menimbulkan pertanyaan : "Adakah sebenarnya Puasa Rajab atau dasar yang kita bisa pegang untuk menjalaninya?"
 
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut diatas, mari kita simak jawaban dari Ust. Muhammad Muafa, M.Pd yang bisa kita jadikan sebagai acuan/ referensi, sebagai berikut :
 
Tidak ada puasa Rajab secara khusus, dan tidak ada pula anjuran berpuasa Rajab secara khusus. Semua riwayat yang memerintahkan puasa Rajab dan menjelaskan keutamaannya adalah riwayat Dhoif (lemah) dan Maudhu’ (palsu). Tidak ada pula shalat khusus di bulan Rajab, Zakat khusus, Haji, khusus, Umroh khusus, Ziaroh kubur khusus dan doa khusus. Semuanya adalah amalan-amalan yang tidak dilandaskan dalil yang bisa diterima sehingga tidak dapat diamalkan.
 
Rajab adalah nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan Hijriyyah yang terletak diantara bulan Jumada Ats-Tsaniyah dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab memiliki 15 nama lain yaitu; Al-Ashomm , Al-Ashobb  Rojm , As-Syahru Al-Harom , Al-Harom , Al-Muqim ,Al-Mu’alla , Al-Fard , Munshilu Al-Asinnah , Munshilu Al-Al ,  Munazzi’u  Al-Asinnah ,  Syahru Al-’Atiroh , Al-Mubro , Al-Mu’asy-’isy , dan Syahrullah. Istilah puasa Rajab yang berkembang di masyarakat, bermakna puasa khusus di bulan Rajab yang dianjurkan berdasarkan sejumlah riwayat yang diklaim diucapkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam yang menerangkan keutamaannya.
 
Masalahnya, tidak ada satupun riwayat (yang diklaim diucapkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam)  tentang keutamaan puasa bulan Rajab yang legal secara syar’i sehingga hukum puasa Rajab bisa dikatakan Sunnah/Mandub. 
 
Contoh riwayat bermasalah yang dijadikan dasar adalah riwayat berikut:
 
Dari ‘Amr bin Al-Azhar dari Aban bin Abi ‘Ayyasy dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan baginya pahala puasa selama sebulan penuh. Barang siapa berpuasa tujuh hari di bulan Rajab , maka Allah akan menutup tujuh pintu neraka. Barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab , maka Allah akan membuka delapan pintu surga untuknya. Barang siapa berpuasa separuh bulan di bulan Rajab , maka Allah akan menuliskan keridhaanNya untuknya. Barang siapa yang Allah menuliskan keridhaanNya untuknya, maka Allah tidak akan menyiksanya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab  sebulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang ringan”. (H.R. Abu Al-Qosim As-Samarqondi)
 
Problem pada riwayat di atas adalah adanya perawi yang bernama Aban bin Abi ‘Ayyasy, karena dia adalah seorang perawi yang Dhoif. Syu’bah berkata tentang Dhoif nya Aban dengan perkataannya: “aku lebih menyukai berzina daripada mengambil Hadist  dari Aban”. Ahmad, An Nasa’i dan Ad Daruqutni berpendapat bahwa Aban itu matruk (ditinggalkan). Selain itu ada pula perawi bernama ‘Amr bin Al Azhar dalam Hadist tersebut. Ia adalah perawi yang dikenal sering memalsukan Hadist. An Nasai berkata bahwa Amr bin Al Azhar adalah matruk (ditinggalkan). Yahya ibnu Ma’in juga mendustakannya.
 
Contoh riwayat lain yang dijadikan dasar adalah riwayat berikut:
 
Kami diberitahu oleh Hitsam bin Kholaf, kami diberitahu oleh Al-hasan bin Syaukar, kami diberitahu oleh Yusuf bin ‘Athiyyah As-Shoffar, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan puasa selama sebulan penuh setelah Ramadhan kecuali puasa Rajab  dan Sya’ban. (H.R. At-Thobaroni)
Problem pada riwayat diatas adalah perawi yang bernama Yusuf Bin ‘Athiyyah As-Shoffar. Yahya bin Ma’in mengatakan “Laisa bissyai’” (orang yang tidak bisa dianggap apa-apa). ‘Amr bin ‘Ali mengatakan; “Katsirul Wahm wal Khotho’ (banyak tidak teliti dan banyak salah), Al-Juzajani mengatakan; “Laa Yuhmadu haditsuhu” (hadisnya tidak terpuji), Abu Zur’ah dan Abu Hatim mengatakan; lemah hadisnya, Bukhari mengatakan; Munkarul hadits, An-Nasai dan Abu Bisyr Ad-Dulabi mengatakan; Matrukul Hadits, Ibnu Hajar menilai; Matruk. Karena itu, riwayatnya tergolong hadis Dhoif.
 
Bahkan bisa dikatakan bahwa seluruh riwayat yang menerangkan keutamaan bulan Rajab tidak ada satupun yang Shahih atau Hasan sekalipun. Semua riwayat tentang keutamaan bulan Rajab hanya dua kualitasnya; jika tidak Dhoif (lemah), maka Maudhu’ (palsu). Ibnu Hajar Al-Asqolani telah mengumpulkan semua riwayat tentang anjuran puasa Rajab dalam kitabnya yang bernama
(Menjelaskan rasa heran mengenai nash yang datang tentang bulan Rajab) dan membagi riwayat-riwayat yang ada hanya menjadi dua yaitu; riwayat-riwayat Dhoif dan riwayat-riwayat palsu.
 
Dengan demikian tidak ada syariat puasa Rajab dan tidak ada pula anjuran berpuasa Rajab secara  khusus karena riwayat-riwayat yang dijadikan dalil semuanya tidak sah digunakan sebagai hujjah.
Tidak bisa mengatakan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah berdasarkan anjuran umum puasa Tathowwu’(sunnah) secara mutlak atau anjuran puasa di bulan bulan (4 bulan suci dalam Islam, yaitu; Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).
 
Hal itu dikarenakan yang jadi persolan dalam pembahasan ini adalah isu mengkhususkannya, bukan sekedar melakukan puasa sunnah pada waktu tertentu. Ketika Syara’ menganjurkan puasa Tathowwu’ secara mutlak selain bulan Ramadhan, lalu ada seorang mukallaf yang berpuasa Rabu secara rutin dan mengkhususkannya, maka tidak bisa dikatakan bahwa hukum puasa Rabu secara rutin dan mengkhususkannya hukumnya sunnah berdasarkan keumuman hadis anjuran puasa Tathowwu’. Penjelasan yang lebih  tepat; tidak ada anjuran puasa Rabu khusus karena tidak ada dalil yang menunjukkan, dan yang ada hanyalah Nash umum tentang anjuran puasa Tathowwu’ yang boleh dikerjakan pada hari Rabu, Selasa, Ahad, dll.  Lagipula mengkhususkan ibadah haruslah dinyatakan dengan Nash karena Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melarang mengkhususkan puasa dan shalat pada hari Jumat padahal Nash-Nash yang memerintahkan puasa sunnah dan shalat malam bersifat mutlak sehingga bisa dilakukan di waktu kapanpun.
 
Tidak bisa pula berargumen bahwa riwayat Dhoif tentang anjuran puasa Rajab  bisa dipakai dalam kapasitas dalil untuk Fadhoil Amal. Hal itu dikarenakan isu yang dibahas di sini adalah pembahasan hukum Syara’, yakni membahas apakah hukum puasa Rojab sunnah ataukah tidak. Pembahasan hukum syara’ adalah hukum Ashl (induk) bukan Fadhoil ‘Amal yang hanya dijadikan penguat terhadap hukum induk yang sudah mapan.
 
Ulama yang membolehkan hadis Dhoif dijadikan dasar Fadhoil ‘Amal mensyaratkan cukup ketat dalam penggunaannya yaitu:
 
Pertama, ada nash Ashl/induk yang tidak diperdebatkan lagi keshohihannya tentang amal yang dijelaskan dalam Hadist Dhoif.
 
Kedua, Hadist Dhoif tersebut bukan Hadist yang terlalu Dhoif.
 
Ketiga, dalam mengamalkannya tidak boleh disertai keyakinan bahwa Rasulullah SAW mengucapkannya.
 
Pada kasus puasa Rajab, tiga syarat ini telah dilanggar semua.
Lebih dari itu, ada riwayat Mursal yang menunjukkan ketidak sukaan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam terhadap puasa Rajab. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:
 
Dari Zaid bin Aslam dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditanya tentang puasa Rajab. Maka beliau menjawab, “di mana kalian dari bulan Sya’ban?”. (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
 
Ketidaksukaan  Sejumlah Shahabat Terhadap Puasa Rajab Khusus Ada sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Shahabat-Shahabat besar tidak suka dilakukan puasa Rajab secara khusus. Diantara mereka adalah Abu Bakar. Dalam majmu’ Al-Fatawa disebutkan:
 
Abu Bakar masuk, dia melihat keluarganya telah membeli gelas-gelas untuk air dan mereka bersiap-siap untuk berpuasa. Maka dia berkata, “apa ini?!”. Mereka menjawab, “Rajab ”. Dia berkata, “apakah kalian menginginkan untuk menyamakan Rajab  dengan Ramadhan?”. Lalu beliaupun memecah gelas-gelas itu. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
 
Termasuk pula Umar bin Khattab. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan:
 
Dari Kharasyah bin Hurr dia berkata, “aku melihat Umar memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab  hingga mereka meletakkan tangan-tangan mereka pada makanan. Umar berkata, ‘makanlah karena Rajab hanyalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyyah”.
 
Demikian pula Abdullah bin ‘Umar. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:
 
Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Ashim bin Muhammad dari ayahnya dia berkata, “apabila ibnu Umar melihat orang-orang dan apa yang mereka persiapkan untuk puasa Rajab  maka beliau membenci hal itu”. (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
 
Demikian pula Abu Bakrah, Imam Ahmad meriwayatkan:
 
Dari Abu Bakrah bahwasanya dia masuk menemui keluarganya dan di sisi mereka terdapat keranjang-keranjang baru dan gelas-gelas. Beliau berkata, “apa ini?”. Mereka menjawab, “ Rajab, dan kami akan mempuasainya (berpuasa di dalamnya)”. Beliau berkata, “apakah kalian akan menjadikan Rajab seperti Ramadhan?” lalu beliau menumpahkan keranjang-keranjang itu dan memecahkan gelas-gelas tersebut.(H.R.Ahmad)
 
Demikian pula Anas bin malik. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:
 
Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Yazid maulanya As Shahba’ dari seorang lelaki, dia melihat Anas berkata, “janganlah kalian menjadi istnainiyyan, jangan pula kalian menjadi khumaisiyyan, dan jangan pula kalian menjadi Rujaibiyyan”. (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
 
Riwayat Lemah Doa Terkait Bulan Rajab
 
Sebagian kaum muslimin mengamalkan doa terkait bulan Rajab yang diklaim diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam.  Doa tersebut berbunyi:
Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan
 
Klaim bahwa doa ini diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam didasarkan pada riwayat berikut : "Kami diberitahu oleh Abdullah, kami diberitahu oleh Ubaidullah bin Umar dari Zaidah bin Abi Ar-Ruqad dari Ziyad An Numairi dari Anas bin Malik dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk pada bulan Rajab  beliau berdoa, ‘ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab  dan Sya’ban dan berilah kami berkah di bulan Ramadhan’. Beliau menyebut malam Jum’at sebagai Gharra’ dan hari jumat sebagai Azhar."
 
Pada riwayat At Thabarani, lafadznya diungkapkan  sebagai berikut:
"Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan."  Hanya saja, klaim ini tidak boleh dilanjutkan karena riwayat diatas semuanya adalah riwayat Dhoif karena seorang perawi yang bernama Zaidah bin Abi Ar-Ruqod. Bukhari berkata dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir; (3/ 433)
 
Zaidah bin Abi Ar-Ruqod dari Ziyad An-Numairi dan Tsabit; Munkarul hadits Abu Ahmad Al-Hakim menilai Zaidah dengan statemen; “haditsuhu laisa bil Qoim” (hadisnya tidak tegak), Annasai mengatakan; Munkarul hadits, Ibnu Hibban mengatakan; Dia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari perawi populer, Ibnu hajar menilainya; Munkarul hadits.
 
Oleh kerena riwayatnya dhoif, maka tidak boleh doa tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Sejauh-jauh yang bisa dilakukan hanyalah membaca doa tersebut dalam kapasitas doa buatan (Mashnu’), bukan doa Ma’tsur (dinukil) dari Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam.
 
Atas dasar ini tidak ada puasa Rajab dan tidak ada anjuran melakukannya. Semua amalan khusus di bulan Rajab seperti shalat Roghoib, Zakat, Haji, Umroh, Ziaroh kubur juga tidak dianjurkan. Amalan-amalan shalih di bulan Rajab dikembalikan pada nash-nash umum tentang amalan tersebut dan diamalkan sebatas penunjukkan makna yang dinyatakan oleh lafadz Nash.
 
Wallahua’lam. 
 
Oleh:
Ust. Muhammad Muafa, M.Pd
Pengasuh Pondok Pesantren IRTAQI, Malang, Jawa Timur
Pertanyaan kirim ke: redaksi@suara-islam.com
suara-islam.com/, Shodiq Ramadhan | Kamis, 24 Mei 2012
http://www.kautsar.co.id/read/article/13/05/2013/78/adakah-dalil-khusus-puasa-rajab/
 

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

No comments