Home
/
Bahayanya Penyebaran Syiah di Negara-negara Sunni
/
Bahayanya Penyebaran Syiah di Negara-Negara Sunni (Bagian Kedua: Perbedaan Rukun Islam)
Bahayanya Penyebaran Syiah di Negara-Negara Sunni (Bagian Kedua: Perbedaan Rukun Islam)
Oleh: Prof. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni - 10/06/13 | 10:40 | 01 Shaban 1434 H
dakwatuna.com - Sebagai perbandingan pertama, kita memulai dengan membahas masalah rukun Islam antara sunnah dan Syiah.
Sunnah dan Syiah berbeda tentang pilar agama Islam. Kalau menurut
pandangan Ahlu Sunnah, Islam memiliki beberapa pokok ajaran atau dasar
agama yang biasa disebut sebagai rukun agama “arkaan ad-din”. Dan rukun
ini memiliki konsekuensi yang fatal kalau ditinggal atau tidak
dilaksanakan, yang menyebabkan suatu perkara yang dilakukan menjadi
tidak sah. Sebab makna rukun itu sendiri adalah, sesuatu yang merupakan
sebagian daripada suatu perkara yang karena kewujudannya maka wujudlah
perkara itu, manakala sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah
perkara itu”. Contohnya perkara niat dalam shalat, niat merupakan rukun
wujudnya shalat, jika seorang shalat tanpa disertai dengan niat maka
shalatnya tidak sah.
Dalam agama Islam ada dua rukun yang mesti
dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beragama Islam,
rukun tersebut adalah rukun Islam dan rukun Iman. Rinciannya adalah
sebagaimana berikut:
Golongan sunnah berpendapat bahwa rukun
Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat ada 4 perkara, yaitu: (1)
Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4) Haji. Landasan bagi pendapat Sunni
ini adalah hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ
عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً
رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ
الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. (رواه الترمذي ومسلم ).
“Dari
Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab r.a berkata : Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda : Islam dibangun di atas lima perkara;
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan haji dan berpuasa di bulan Ramadhan”. (Riwayat Turmuzi dan
Muslim).
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa seseorang
yang ingin memeluk agama Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat
syahadat terlebih dahulu, sebab syahadah adalah asas ajaran Islam.
Syahadat diibaratkan sebagai kunci dan pilar utama untuk menjadi seorang
muslim. Syahadat pertama menuntut orang tersebut bertauhid atau
meng-esa-kan Allah swt, dan syahadat yang kedua merupakan pengakuan
bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah swt. Pilar yang kedua
adalah, bagi seseorang yang mengaku beragama Islam diwajibkan menunaikan
shalat lima waktu dalam sehari semalam, yaitu: shalat dzuhur, ashar ,
maghrib , isya, dan subuh. Pilar yang ketiga menuntut seseorang muslim
mengeluarkan zakat dalam jumlah yang telah ditentukan kadarnya. Pilar
yang keempat adalah, bagi seorang muslim diwajibkan melaksanakan ibadah
puasa di bulan ramadhan, dengan menahan diri dari hal-hal yang
membatalkan puasa, dimulai dari sejak terbitnya fajar sehingga
terbenamnya matahari. Dan pilar terakhir adalah, kewajiban untuk
melaksanakan ibadah haji di Mekkah al-Mukarramah sekali dalam seumur
hidup.
Inilah tiang agama yang mesti dilakukan oleh setiap umat Islam menurut pandangan golongan sunni.
Sedangkan masalah keimanan yang merupakan suatu keyakinan yang
dipercayai dengan sepenuh jiwa dan hati oleh pemeluk agama Islam, maka
bagi golongan sunni, seorang muslim diwajibkan mempercayai enam rukun
iman, yang terdiri dari: (1) Iman kepada Allah, (2) para malaikat, (3)
kitab-kitab, (4) para rasul, (5) hari kiamat, serta (6) qadha &
qadar. Dalil yang diajukan oleh sunni mengenai keenam rukun iman ini
adalah sebagi berikut:
(أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ،
وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ
خَيْرِهِ وَشَرِّهِ) (رواه مسلم والبخاري).
“Bahwa engkau beriman
kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul, dan hari akhirat,
dan engkau beriman mengenai Qadar (takdir), baik dan buruknya”.
(آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ
بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ) (البقرة، 285).
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda antara
seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka
mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa):”Ampunilah kami
ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”. (Al-baqarah: 285)
Sedangkan golongan Syiah berbeda dengan sunnah mengenai pembagian rukun
Islam. Bahkan antara aliran-aliran Syiah sendiri saling berbeda
pandangan dalam hal ini. Syiah Imamiyah berpendapat bahwa rukun agama
ada 5, yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Wilayah.
Sebagaimana beberapa riwayat yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam
kitabnya “Ushul al-Kafi”:
عَنْ أَبِي جَعْفَر u قَالَ: “بُنِيَ
الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: عَلَى الصلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ
وَالْحَجِّ وَالْوِلاَيَةِ، وَلَمْ يُنَادَ بِشَيْءٍ كَمَا نُوْدِيَ
بِالْوِلاَيَةِ”.
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun
di atas lima perkara; yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan, melaksanakan haji, dan wilayah, dan tidak ada satu pun
daripada rukun-rukun yang tersebut yang diseru (keras) sebagaimana
seruan yang diberikan kepada wilayah”[1].
وعَنْ أَبِي جَعْفَر u
قَالَ: “بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى الصَّلاَةِ
وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالصَّوْمِ وَالْوِلاَيَةِ، قَالَ زَرَارَة:
فَقُلْتُ: وَأَىُّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ أَفْضَل، فَقَالَ: اَلْوِلاَيَةُ
أَفْضَل لِأَنَّهَا مِفْتَاحُهُنَّ، وَالْوَلِيُّ هُوَ الدَّلِيْلُ
عَلَيْهِنَّ”.
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di
atas lima perkara; mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan
haji, puasa Ramadhan, dan wilayah. Zararah bertanya kepada Abu Ja’far:
manakah rukun yang terbaik di antara rukun-rukun tersebut?. Abu Ja’far
menjawab: Wilayah adalah rukun yang terbaik, sebab wilayah merupakan
kunci dari semua rukun agama, dan Wali (Imam) adalah penunjuk atas
kesemua rukun tersebut”[2].
عَنْ عُجْلاَن أَبِي صَالِحْ قَالَ:
قُلْتُ لِاَبِي عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم: “أَوْقِفْنِي عَلَى
حُدُوْدِ الاِيْمَانِ، فَقَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
وَأنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَالِإقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ
عِنْدِ اللهِ وَصَلاةُ الْخَمْسِ وَأَدَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ شَهْرِ
رَمَضَان وَحَجُّ الْبَيْتِ وَوِلاَيَةُ وَلِيِّنَا وَعَدَاوَةُ عَدُوِّنَا
وَالدُّخُوْلُ مَعَ الصَّادِقِيْنَ”.
“Dari ‘Ujlan Abu Shalih,
ia bekata: Saya meminta penjelasan dari Abu Abdillah tentang
batasan-batasan iman, ia menjawab bahwa iman adalah “Bersaksi bahwa
tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah, dan Beriqrar (mengakui) segala yang datangnya dari
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, melaksanakan
haji, percaya kepada Wilayah, dan memerangi musuh-musuh, dan berhimpun
bersama orang-orang yang benar (jujur)”[3].
Bila diperhatikan
riwayat terakhir di atas, Syiah Imamiyah menjadikan ucapan dua kalimat
syahadat sebagai bahagian dari rukun iman, sementara sunnah
menjadikannya sebagai rukun Islam.
Adapun bagi Syiah
Isma’iliyah Bathiniyah, rukun Islam ada 7. Hal ini dinyatakan dengan
tegas oleh salah seorang ulama Syiah Isma’iliyah, yaitu al-Qadhi
an-Nu’man dalam kitabnya “Da’aa`im al-Islam”. Kitab tersebut mensinyalir
bahwa rukun Islam ada 7 perkara, yaitu: (1) Wilayah, (2) Kesucian, (3)
Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad. Adapun teksnya
adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي جَعْفَر أَنَّهُ قَالَ:
“بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى سَبْعِ دَعَائِمٍ : اَلْوِلاَيَةُ، وَهِيَ
أَفْضَلُهَا، وَبِهَا وَبِالْوَلِيِّ يُوْصِلُ إِلَى مَعْرِفَتِهَا،
وَالطَّهَارَةُ، وَالصَّلاَةُ، وَالزَّكَاةُ، وَالصَّوْمُ، وَالْحَجُّ،
وَالْجِهَادُ”.
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di
atas tujuh perkara; Wilayah, dan wilayah adalah rukun terbaik dari rukun
lainnya, sebab dengan wali (imam) seseorang dapat mengenal rukun-rukun
Islam, kemudian Thahara (kesucian), mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan berjihad”[4].
Jadi,
Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah sepakat bahwa wilayah (imamah)
adalah rukun yang paling utama dari rukun yang lainnya.
Dari
beberapa riwayat yang diketengahkan oleh Syiah Imamiyah dan Syiah
Isma’iliyah dapat dilihat bahwa dua kalimat syahadat tidak dimasukkan
dalam rukun Islam mereka. Sedangkan sunnah menjadikannya sebagai rukun
Islam pertama dan yang paling utama. Sementara bagi Syiah wilayah
(imamah) adalah salah satu rukun agama dan rukun Iman yang paling
mendasar dan paling utama dibanding rukun-rukun lainnya. Sehingga salah
seorang ulama Syiah Imamiyah kontemporer yang bernama syekh Amir
Muhammad al-Qazawayni menyatakan dengan tegas bahwa: “barang siapa yang
mengingkari kepemimpinan imam Ali, maka sungguh telah gugur
keimanannya”[5].
Di samping itu berkaitan dengan kalimat
syahadat, terkadang Syiah menambahkan sebutan imam Ali sebagai wali
Allah, sehingga teks syahadat versi mereka berbunyi:
“أَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ اللَهِ”
“Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan
bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, dan Ali adalah wali Allah”.
Namun perlu disebutkan, bahwa as-Sayyid al-Murtadha, yang merupakan
salah seorang ulama terkemuka Syiah pada abad ke lima Hijriah
mengharamkan penyebutan azan yang ditambahkan dengan kalimat “Ali adalah
wali Allah”, yaitu yang berbunyi “أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيَّ الله
”. Seorang cendikiawan Syiah Imamiyah yang netral dan moderat bernama
DR. Musa al-Musawi menilai bahwa sebenarnya penambahan ini tidak
mendasar dan keliru. Ia muncul setelah Ghibah al-Kubrah pada tahun 329
Hijriah. Bahkan menurutnya, seandainya imam Ali masih hidup saat ini,
dan mendengarkan penambahan nama beliau dalam azan, maka niscaya beliau
akan memberikan hukuman “Had” kepada pelantun azan tersebut[6]. Tentunya
pernyataan ini merupakan suatu usaha untuk menuju penetralan dan
penjernihan aqidah yang dilakukan oleh sebagian intelektual modern dari
kalangan Syiah.
Bahkan terkadang lafadz Nabi Muhammad-pun dihilangkan dari kalimat syahadat. Seperti riwayat di bawah ini:
عَنْ أَبِي جَعْفَرْ قَالَ: “لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ عِنْدَ الْمَوْتِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَالْوِلاَيَة”.
“Ketika Talqin, bacakanlah kepada mayat-mayat kalimat syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan wilayah (Ali wali Allah)”[7].
Di tempat lain, Syiah menafsirkan ayat dalam surah al-Baqarah ayat 132, 137, yang berbunyi:
(قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا
أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ
نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. فَإِنْ
آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ
فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ) –البقرة: 136، 137-.
“Katakanlah (hai orang-orang
mu’min):”Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami,
dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’kub dan anak
cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan ‘Isa serta apa
yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman
kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka
berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Bagi Syiah, lafadz (فَإِنْ آمَنُواْ),
bermaksud, mereka umat manusia, sedangkan lafadz (بِمِثْلِ مَا آمَنتُم
بِهِ), adalah imam Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan para imam-imam
lainnya. Jadi maksud ayat ini adalah keimanan seorang mukmin harus
melalui dan mengikuti serta sesuai dengan keimanan para imam-imam
Syiah[8].
Inilah gambaran tentang konsep keimanan kepada Allah swt yang diyakini oleh golongan Syiah.
Tentang Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang pada asalnya
sifat-sifat tersebut hanya dimiliki Allah semata-mata, oleh Syiah
diyakini bahwa nama-nama serta sifat-sifat tersebut dilabelkan juga
untuk para imam-imam Syiah. Hal ini dapat dilihat ketika al-Kulaini
meriwayatkan sebuah pentafsiran daripada ayat al-Qur’an:
(ولِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا) -الآعراف، 180-.
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asma-ul husna itu”. (Al-A’raaf: 180). Dari Abu Abdillah, ia
mengatakan: “Kami dan asma al-husna tidak akan menerima amalan seorang
hamba kecuali dengan pengetahuan kami (izin kami)”[9].
Dalam kitab-kitab Syiah yang lain disebutkan:
“نَحْنُ وَجْهُ اللهِ نَتَقَلَّبُ فِي الأَرْضِ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ، وَنَحْنُ عَيْنُ اللهِ فِي خَلْقِه”
“Kami (para imam) adalah wajah Allah, kami beredar di muka bumi di
antara kamu, dan kami (para imam) adalah mata Allah untuk
hamba-Nya”[10].
Ibnu Babwaih menafsirkan firman Allah swt:
(كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ) –القصص، 88-.
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”. (Al-Qashash: 88).
Ia mengatakan:”نَحْنُ وَجْهُ اللهِ الَّذِي لاَ يَهْلِكُ“. “Kamilah
wajah Allah yang tidak akan binasa”[11]. Keyakinan seperti ini dapat
ditemukan juga dalam Syiah Isma’iliyah[12].
Dengan demikian,
dari uraian di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa Syiah menambahkan
rukun Islam dengan Imamah (politik). Dan hal ini ditegaskan kembali oleh
syekh Muhammad Husein al-Ghitah yang merupakan seorang ulama Syiah
Imamiyah kontemporer, yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya mazhab Syiah
(imamiyah) menambahkan rukun Islam (Ahlu Sunnah), yaitu Imamah”[13].
Teks ucapan ini merupakan pengakuan bahwa Syiah memang sengaja
menambahkan rukun Islam supaya berbeda dengan rukun Islam yang diyakini
oleh kalangan sunnah.
[1] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[2] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[3] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[4] Al-Qadhi an-Nu’man, kitab Da’aaim, 1/2
[5] Amir Muhammad al-Qazawayni, as-Syiah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim, hal: 24.
[6] Lihat usaha-usaha beliau dalam menetralisir hubungan Sunnah dan
Syiah pada bukunya yang berjudul “as-Syiah wa at-Tasyayyu’”.
[7] Al-Hurru al-‘Aamili, Wasaail as-Syiah, 2/665. Tahziib al-Ahkam, 1/8.
[8] Lihat beberapa tafsir mu’tabar Syiah: al-‘Iyasyi, 1/62. Al-Burhan, 1/157. As-Shafi, 1/92.
[9] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/143-144.
[10] Tafsir al-‘Iyaashi, 2/42. al-Majlisi, Bihaar al-Anwaar, 94/22. an-Nuuri at-Thabrisi, Mustadrak al-Wasaail, 1/371.
[11] Ibnu Babwaih, at-Taudih, hal 149.
[12] Lihat rinciannya pada buku penulis, Mauqif az-Zaydiah wa Ahli
as-Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, hal: 185-190,
Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[13] Muhammad Husein al-Ghitah, Ashlu as-Syi’ah w aUshuluha, hala: 58.
Sumber: http://www. dakwatuna.com/2013/06/10/ 34817/ bahaya-penyebaran-syiah-di-nega ra-negara-sunni-bagian-kedua-p erbedaan-rukun-islam/ #ixzz2ZqgGX4IN
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Bahayanya Penyebaran Syiah di Negara-Negara Sunni (Bagian Kedua: Perbedaan Rukun Islam)
Reviewed by Djambhoe
on
July 26, 2013
Rating: 5
No comments