Breaking News

Bahayanya Penyebaran Syiah di Negara-Negara Sunni (Bagian Kelima: Rukun Iman, Qadha dan Qadar)

Oleh: Prof. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni - 11/06/13 | 13:13 | 02 Shaban 1434 H

dakwatuna.com - Takdir merupakan rukun iman terakhir yang wajib diyakini oleh umat Islam. Dan dalam pembahasan ini terdapat dua kata yaitu qadha dan qadar. Kedua istilah ini serupa tapi tak sama, sebab keduanya mempunyai makna yang berbeda.

Dari segi etimologi sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Maturidi bahwa qadha diartikan sebagai keputusan, sedangkan qadar diartikan sebagi ketentuan[1]. Sedangkan dari segi terminologi, qadar adalah takdir Allah sejak zaman azali, sedangkan qadha` adalah hukum Allah mengenai sesuatu ketika sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu, kalau Allah menetapkan terjadinya sesuatu pada waktu yang ditentukan, maka itulah yang dinamakan qadar. Dan ketika telah datang masa waktu terjadinya sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya itu, maka itulah yang dinamakan qadha’. Dengan demikian qadar wujud lebih dulu dibanding qadha, sebab qadha menyusul di belakang setelah adanya qadar.

Bila kita teliti dalam permasalahan takdir, syi’ah cenderung kepada pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan oleh manusia dengan daya yang bersifat baru[2].

Di sinilah titik perbedaan antara pandangan sunni dan syi’ah dari satu sisi, dan di sini jugalah titik persamaan antara syi’ah dengan Mu’tazilah. Sunni yang diwakili oleh dua golongan besar, yaitu: Asy’ariah dan Maturidiyah, berkeyakinan bahwa Allah menciptakan perbutan manusia, dan manusia yang melakukan perbutan yang Allah ciptakan tersebut[3].

Di samping itu perlu disebutkan di sini bahwa golongan sunni, syi’ah dan mu’tazilah sama-sama mengkritik pandangan golongan Jabariah (Fatalisme), yang berasumsi bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, dan tidak mempunyai pilihan. Punulis tidak perlum memaparkan lebih jauh tentang masalah ini, karena silang pendapat dalam masalah ini tidak begitu jauh antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam artian, polemik antara sunni dan syi’ah dalam masalah ini tidak berakibat fatal, seperti halnya polemik pada rukun-rukun iman yang lain.

Ada beberapa perbedaan lain yang sangat signifikan yang diyakini oleh golongan syi’ah Imamiyah selain perkara-perkara rukun di atas, yaitu:

* Khalifah diwasiatkan secara nash dan bersifat turun temuran.
* Imam adalah terpelihara dari dosa dan noda, alias bersifat ma’shum.
* Meyakini adanya raj’ah (kebangkitan kembali)[4].
* Memaki para sahabat Nabi dan ummahatul mukminin.
* Menghalalkan nikah Muta’h.
* Menolak ijma’ & qiyas. (dalam masalah ini terjadi perdebatan intern antara sesama syi’ah sendiri. Yaitu antara dua kelompok: al-Akhbariyyun (al-Nashiyyun, al-Muhadditsun), dan kelompok al-Ushuliyyuun (Madrasah ar-Ra’yi, Madrasah at-Ta’wil).
* Tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh perawi Ahli Sunnah.

Tentunya masih banyak lagi permasalahan selain yang penulis sebutkan di atas.

Apabila menoleh ke sejarah Islam, imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat lahirnya konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah syi’ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan sunni adalah (al-Khilafah). Sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri`asah). Dalam pandangan politik syi’ah dikatakan bahwa imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din), dimana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh karena itu, mesti diyakini bahwa Imam Ali merupakan pelanjut Nabi saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi saw (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab saw. Oleh sebab itu, syi’ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.

Dengan demikian konsep imamah dijadikan sebagai rukun agama oleh seluruh penganut dan golongan syi’ah. Sementara ahlu sunnah men­jadikan imamah hanya sebatas sebuah kajian fiqh saja dan bukan sebagai rukun agama. Jadi bagi mereka, imamah itu adalah pangkat atau ja­batan yang ditentukan oleh Allah swt, oleh karena itu posisi imam itu mereka sama­kan dengan posisi Nabi. Dan kalau Nabi di­pilih langsung olehi Yang Maha Kuasa, maka imam dipilih oleh Nabi Muhammad saw. Dan pilihan beliau jatuh kepada Imam Ali, dan Imam Ali memilih penerusnya dari Ahlul Bait. Jika demikian, dapat kita katakan bahwa syi’ah se­cara tidak langsung memasukkan sistem pe­merintahan teokrasi dalam Islam dan per­adaban bangsa Arab. Dan berdasarkan konsep imamah ini, maka umat tidak berhak memilih se­orang imam, karena pemilihan imam me­rupakan ketentuan Ilahi.

Mereka menggunakan banyak landasan. Hampir semua ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berkaitan dengan kepemimpinan, perwalian, penghakiman dll mereka inter­pretasikan sebagai konsep Imamah. Seperti firman Allah swt:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) -النساء: 59-.

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. an-Nisaa`: 59).

Ayat” Yaa ayyuhallazdina amanu ati’ullah wa ati’u ar-rasul wa ulil Amri minkum “, menurut mereka kalimat “wa ulil amri minkum“, adalah para imam-imam syi’ah dan keturunannya. Dan pendapat ini disepakati oleh seluruh golongan syi’ah yang terbesar, yaitu: syi’ah Zaidiyah, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah[5]. Begitu juga halnya dengan Akhbar (hadits), seperti wasiat Rasulullah saw pada saat peristiwa Ghadir Kham selepas haji Wada’. Yaitu manakala Rasulullah saw mengatakan kepada umatnya ketika itu, bahwa Imam Ali adalah penerima wasiat dan sebagai khalifah sepeninggalku[6].

Namun, kalau kita renungkan dengan teliti ucapan-ucapan Rasulullah saw dalam haji Wada’, sebenarnya tidak ada dalam ucapan dan penyebutan Rasulullah saw mengenai khilafah, melainkan beliau hanya menyebutkan tentang kebaikan, keutamaan (afdaliyah) imam Ali terhadap apa-apa pengorbanan yang telah disumbangkan kepada umat Islam ketika itu. Oleh karena itu, syi’ah merasa tidak cukup puas untuk menjadikan peristiwa Ghadir Kham sebagai argumentasi mereka, sehingga mereka berusaha mencari dalil-dalil lain yang boleh menguatkan keyakinan mereka[7]. Dan untuk men­guatkan peristiwa ini, salah seorang ulama syi’ah Imamiyah bernama Abdul Husain Ahmad al-Amini mengarang sebuah buku sebanyak 10 jilid yang berjudul (al-Ghadir fi al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Adab). Dan pe­riwayatan hadits-hadits yang mereka gunakan dari kalangan mereka sendiri, karena bagi syi’ah Imamiyah ataupun Isma’iliyah, hadist yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ma’shum dalam semua tingkatan.

Setelah memaparkan bentuk-bentuk perbedaan keyakinan, kepercayaan (ideologi) dan politik yang dianut oleh masing-masing golongan sunnah dan golongan syi’ah Imamiyah, maka kita boleh menilai secara objektif tentang pandangan bahwa “Tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni” atau “Perbedaan hanya sedikit dan bersifat furu’iyah bukan asas”. Menurut hemat penulis, pandangan ini sebenarnya pandangan yang lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi) terhadap mazhab Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah. Sebagai bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah bukan asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara bertakbir dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya demikian, kenapa mesti saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan saling mengkafirkan?. Kalau beda tipis kenapa ada gerakan syiahisasi di kalangan sunnah?. bukankah bagus kalau masing-masing berjalan sesuai akidah keyakinan sendiri tanpa menjajah ideologi golongan lain?.

Pemaparan di atas telah membuktikan bahwa perbedaan antara sunnah dan syi’ah sangat fundamental. Di mana golongan sunnah berpendapat bahwa rukun Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat ada 4 perkara, yaitu: (1) Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4) Haji.

Sedangkan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa rukun Islam ada 5, yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Wilayah.

Adapun Syi’ah Isma’iliyah mereka meyakini lebih banyak lagi rukun Islam, yaitu: (1) Wilayah, (2) Kesucian, (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad.

[1] Lihat: Maturidi, kitab at-Tauhid, hal: 305-307.

[2] Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal: 324.

[3] Untul Lebih jelasnya: lihat buku penulis: al-Mazahib al-‘Aqaaidiyah al-Islamiyah, Universiti Sains Islam Malaysia, 2010.

[4] Hakikat Raj’ah diperselisihkan oleh syi’ah Imamiyah, lihat buku penulis, al-Aqidah al-Islamiyah Fi Dhau` ad-Dirasat al-Kalamiyah, hal: 35-60.

[5] Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni: al-Firaq as-Syi’iyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha, hal: 63-68, Universiti Sains Islam Malaysia, 2009.

[6] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/324. al-Qadhi an-Nu’man, al-Azjuuza al-Mukhtarah, hal: 71.

[7] Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah Wa Falsafatuha, hal: 323-397, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2009.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/ 2013/06/11/34826/ bahaya-penyebaran-syiah-di-negara-negara-sunni-bagian-kelima-rukun-iman-qadha-dn-qadar/# ixzz2ZqlqNuUr
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

No comments